0

KELOMPOK TANI BAGI MASYARAKAT TANI TANAH JAWA DI DAERAH BANYUMAS


salah satu syarat pelancar pembangunan pertanian adalah adanya kegiatan petani yang tergabung dalam kelompok tani (Mosher)

Hubungan petani dengan kelompok tani ibarat penumpang dengan sebuah kendaraan angkut masa yang akan mengantarkan penumpang sampai ke tujuan. Sejak diberlakukannya sistem kerja LAKU (latihan dan kunjungan) oleh pemerintah yaitu terhitung sejak tahun 1979. Sejak itulah kelompok tani-kelompok tani mulai berdiri sebagai alat pembangunan bagi pemerintah. Selain sebagai wadah sosial 1 bagi petani untuk saling berinteraksi, kelompok tani juga berfungsi sebagai media untuk mempercepat proses difusi penerapan inovasi atau teknologi baru.

Dalam sebuah bukunya, Mosher (1968) yang dikutip oleh Djiwandi (1994) mengemukakan bahwa salah satu syarat pelancar pembangunan pertanian adalah adanya kegiatan petani yang tergabung dalam kelompok tani. Apa yang dikatakan Mosher sesuai jika dibenturkan dengan realitas pertanian di Indonesia pada tahun 80-an. Terbukti pada tahun 1980 Indonesia menerima penghargaan dari FAO sebagai Negara yang melakukan swasembada pangan.

Kelompok Tani Sebagai “Wadah Sosial”

Bahwasanya kelompok tani memegang peran penting bagi pembangunan pertanian tidak bisa dipungkiri. Karena kelompok tani adalah lembaga yang paling dekat dengan kehidupan kawulo alit (petani, -pen). Sehingga segala hal yang berasal dari atas (pemerintah) dan segala aspirasi yang berasal dari bawah (petani) akan melewati lembaga ini. Bagi kedua pihak kelompok tani adalah media untuk mencapai tujuan mereka.

Dengan adanya kelompok tani maka jaringan seorang petani akan semakin luas sehingga tiap-tiap individu bisa saling give and share. Pola hubungan yang terbentuk di dalam kelompok tani memperkuat pola hubungan yang telah terbentuk diantara petani khusunya petani Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh Tuti Sumukti (2006) orang-orang Jawa selalu hidup selaras dan mengesampingkan keinginan pribadi.

Kaum petani Jawa bagaimanapun selalu menjunjung tinggi sebuah ikatan dan kebersamaan. “ringan sama dijinjing berat sama dipikul” sepertinya cukup sesuai untuk menggambarkan filosofi masyarakat Jawa dalam berinteraksi sosial yang telah mendarah daging sejak dulu. Hal itu tergambar pada acara hajatan atau slametan yang masih dilakukan masyarakat Jawa. Ketika sebuah keluarga mengadakan acara selametan tersebut, tonggo teparuh atau tetangga yang terdekat dengan senang hati akan membantu suksesi acara tersebut tanpa pamrih sepeser-pun. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Tuti Sumukti dalam bukunya “semar, dunia batin orang Jawa”.

Individualistik atau mementingkan diri sendiri adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Jawa yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sehingga dengan adanya kelompok tani sebagai media bagi kaum kelas tiga –meminjam istilah Ahmad Tohari- untuk menjalin hubungan kekerabatan dan sebagai wadah untuk saling bantu membantu dalam memecahkan masalah khususnya dalam bidang pertanian akan membantu para petani untuk tetap berpegang pada filosofi nenek moyang mereka.

Dalam tulisan Sajogyo (1978) seperti yang dikutip oleh Mardikanto (1996) mengungkapkan bahwa salah satu alasan seorang petani bergabung dalam kelompok tani karena adanya alasan ideologis yang “mewajibkan” petani untuk terikat oleh suatu amanat suci yang harus mereka amalkan melalui kelompok taninya. Sebagaimana garis edar bumi terhadap matahari yang menjaga agar bumi tetap pada jalanya begitu pula halnya kelompok tani bagi petani.

Sayangnya, masih banyak kelompok tani yang belum berjalan sebagaimana fungsi utamanya yaitu sebagai wadah bagi petani untuk bersama-sama memecahkan masalah. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua faktor, yang pertama adalah karena kurangnya penyuluhan pertanian atau anjuran dari penyuluh pertanian belum sepenuhnya dilakukan oleh petani dan kedua karena adanya proses kulturisasi budaya luar yang sedikit demi sedikit menghancurkan dominasi budaya yang sudah ada.

Penulis maklum dengan adanya anjuran-anjuran dari para penyuluh pertanian yang belum sepenuhnya dilakukan oleh petani. Hal ini karena cara berfikir petani diturunkan dari generasi tua ke generasi muda dalam perjalanan sosialisasi primer. Dengan demikian, tercipta model perilaku yang berorientasi pada sistem nilai dan diikuti dengan patuh untuk jangka waktu lama, meskipun situasi yang menjadi dasarnya sudah lama berubah, hal tersebut sebagaiman yang diungkapkan oleh Planc (1990). Sedangkan untuk kurannya penyuluhan pertanian penulis kembalikan lagi kepada pemerintah sebagai institusi yang memiliki wewenang terhadap hal tersebut.

Adanya akulturisasi budaya asing adalah sesuatu yang terjadi sangat lamban bagi masyarakat Jawa karena sejak dulu masyarkat Jawa sangat kuat memegang pandangan hidup pendahulunya. Akan tetapi hal itu sangat mungkin terjadi mengingat arus globalisasi yang semakin menggila. Dalam hal ini penulis mengambil kasus yang terjadi pada petani di banyumas dimana saat ini petani di daerah banyumas sudah semakin konsumtif. Dalam sebuah seminar yang diadakan di auditorium fakultas pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Ahmad Tohari seorang penulis dan budayawan pernah mengatakan “Masyarakat Banyumas itu sudah semakin konsumtif. Lihat saja, Dulu lumbung padi itu merupakan bagian hidup petani. Tetapi saat ini lumbung itu sudah tidak ada. Hasil panen petani itu langsung dijual lalu hasilnya digunakan untuk membeli barang-barang. Konsumtifisme mereka itu dirangsang melalui siaran televisi”.

Apa yang terjadi pada petani banyumas memang tidak bisa menjadi landasan untuk men-generalisaikan keseluruhan petani khususnya petani pada masyarakat Jawa. Akan tetapi sejauh yang penulis dapatkan dilapangan mencerminkan hal yang selaras dengan pernyataan Ahmad Tohari. Munculnya budaya konsumtif pada petani lambat laun akan memunculkan pola hidup individualistik sehingga menjadi mafhum ketika kelompok tani seperti kehilangan intisari kehidupan.

"Masalah petani harus dipecahkan sendiri oleh petani." (Chamrat Muangyam - Presiden 'Petani Federasi Thailand, dibunuh di Provinsi Rayong,
21 Juli 1979)

DAFTAR PUSTAKA


Sumukti, Tuti. 2006. Semar, Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Percetakan Galang Press.

Planck, Ulrich. 1990. Sosiologi Pertanian. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Mardikanto, T. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Djiwandi, 1994. Pengaruh Dinamika Kelompok Tani Terhadap Kecepatan Adopsi Teknologi Usahatani di Kabupaten Sukoharjo. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan.

1 Wadah sosial yang dimaksud di sini adalah wahana bagi petani untuk melakukan interaksi sosial dan menjalin hubungan yang saling menguntungkan bagi sesama petani

0

“GARENG GUGAT”nya KANG CUENG

Saya bersyukur tadi malam bisa melihat sebuah pertunjukan monolog yang di pertunjukan oleh kand Cueng. Pasalnya karena dalam pertunjukan itu kang Cueng memasukkan banyak sekali unsur kesenian tradisional Jawa khususnya Banyumas , dia juga menggunakan beberapa tokoh pewayangan sebagai simbol dalam pertunjukannya. selain itu apa yang dia pertunjukan bagi saya memiliki nilai filosofis yang cukup dalam.

“gareng gugat”menurut saya adalah sebuah refleksi terhadap apa yang terjadi di negri ini dimana kekuasaan dan kerakusan serta ketidak peduliaan kaum religius terhadap apa yang terjadi di negri ini membuat banyak kesengsaraan bagi masyarakat, Akan tetapi mereka (kaum jelata) tidak berani atau tidak bisa untuk menyuaraknya . Hal ini saya tangkap dari salah satu syair lagu yang dinyayikan oleh sinden di awal pertunjukan . “nganggo iket ora nganggo sarung, pengen banget ora wani nembung…..memakai ikat kepala tapi tidak bersarung, sangat inggin tapi tidak berani bilang atau menyuarakan” syair ini bagi saya cukup untuk menggambarkan dilema yang terjadi pada kaum jelata negri ini.

Pertunjukan “gareng gugat” diawali dengan keluarnya seseorang penari yang mengenakan topeng iblis di bagian belakang kepalanya , Kedua tangannya memegang gunungan/kayon yang ukurannya berbeda. Gunungan/ kayon dalam pewayangan mengambarkan alam semesta atau suatu negri. Adanya kaum borjois dan proletar –meminjam konsep Karl Max untuk menggambarkan si kaya dan si miskin – dan ketimpangan sosial yang terjadi di antara keduanya digambarkan dengan kemunculan dua gunungan yang berbeda ukuran tersebut. Perbedaan ukuran gunungan ini menurut saya juga menggambarkan keadaan yagn terjadi antara pemerintah dan rakyat. Gunungan yang besar memiliki dua sisi yang berbeda seperti halnya penari yang juga mamiliki dua sisi muka yang berbeda, dengan dua sisi yang berbeda tersebut kang Cueng hendak mengambarkan kondisi pemerintah saat ini. Pemerintah seperti membela rakyat padahal menyengsarakan, Berwajah malaikat padahal iblis yang sangat jahat.

Gugatnya gareng ini didasari oleh kecintaannya pada negri ini dan juga rakyatnya yang sebagian besar sengsara dan tersingkir karena ulah orang-orang yang berhati bejat. Digambarkan dalam pertunjukan tersebut ketika nala gareng yang berniat untuk menggugat memeluk tokoh bagong, Punakawan yang didalamnya termasuk bagong dalam pewayangan menggambarkan rakyat jelata. Setelah memeluknya tokoh bagong ini dibuang begitu saja, menurut saya hal ini menggambarkan bahwasanya masyarakat miskin benar-benar tersingkir karena ulah oknum-oknum berhati iblis tersebut.

Gugatan gareng yang pertama ditujukan kepada para pemimpin yang menjadi lalim karena jabatan yang dalam pertunjukan ini digambarkan dengan tokoh Prabu Duryudhana. Parbu Duryudhana dalam beberapa suluk pewayangan digambarkan sebagai seorang raja yang berwibawa bagi rakyatnya di kerajaan Astina, Gajahoya. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kelemahan tokoh ini adalah selalu menuruti kemauaan adiknya-adiknya yang banyak cela dan selalu mementingkan nafsu dunia. Pemimpin yang digugat dalam monolog itu juga seperti Prabu Duryudhana. Ketika mereka menduduki jabatanya, Mereka hanya memikirkan dirinya dan keluarganya. sehingga merekapun dengan berbagai cara harus bisa menghadirkan kesenangan dunia di tengah-tengah keluarganya dan melupakan rakyat yang menjadi kewajibanya. Rakyat telah mereka tipu dengan kewibawaan palsu yang mereka tunjukakan ketika pemilu.

Gugatan kedua ditujukan kepada patih sengkuni yang di monolog ini menggambarkan para pamong (aparatur Negara) negri ini. Patih sengkuni dalam pewayangan diwatakkan sebagai seorang patih yang licik, untuk mendapatkan tujuannya (yang kebanyakan adalah titah dari para petinggi kurawa) dia mengunakan segala cara bahkan kekerasan sekalipun. Tokoh ini tak ubahnya seperti para pamong yang digugat gareng. Para pamong ini dalam melaksanakan pembangunan seringkali merusak dan menghilangkan mata pencaharian. Mereka tidak memikirkan apa yang dirasakan rakyat, karena bagi mereka “asal bapak senang” lebih penting dari nasib rakyat.

Setelah menggugat para pamong, Gareng menggugat para taipan negri ini yang dalam pertunjukan ini digambarkan dengan salah satu tokoh kurawa. Kaum borjuis yang selalu bertindak rakus tak ubahnya seperti para kurawa yang dengan selalu rakus untuk memuaskan hasrat keduniawian mereka. Sifat rakus yang ternyata menimbulkan kesengsaraan inilah yang membuat sang nala gareng melakukan penggugatan terhadap mereka.

Diceritakan pula pada pertunjukan monolog itu sang nala gareng menggugat para tokoh agama yang digambarkan dengan tokoh pendeta Durna , seorang pendeta kurawa yang sama liciknya dengan patih sengkuni. Penggugatan gareng ini untuk menuntut peran aktif tokoh-tokoh agama ini yang pada saat ini seakan-akan sirna. Mereka hanya disibukkan dengan pembahasan-pembahasan masalah praktis saja. Tentang korban lumpur lapindo, Kekurangan air, Kelaparan dan para gepeng serta pelacur yang menanti jalan keluar dari kehidupanya yang hina tidak pernah mereka bahas. Kalaupun ada peran aktif yang ada hanya aksi perusakan tempat hiburan yang menjadi satu-satunya penghidupan mereka yang bekerja di sana, Sedangkan mentri dan pejabat-pejabat yang korup tidak pernah mereka rusak tempat tinggalnya.

Bethara Kresna sebagai salah satu tokoh pewayangan yang memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu yang akan terjadi di masa depan juga tak luput dari aksi penggugatan gareng. Bethara Kresna yang dalam pertunjukan ini menggambarkan seorang pemimpin yang memiliki kemampuan ber-visi untuk kemajuan tanah air dan menjadi satu-satunya harapan rakyat ternyata mengecewakan. Ketika gara-gara (kesemrawutan) banyak terjadi di plosok negri ini, sang harapan terakhir ini hanya bisa mengatakan “ saya ikut prihatin dengan yang terjadi pada negri ini” tanpa member langkah yang kongkrit untuk mengatasi masalah, Mereka punya kekuasaan dan menjadi harapan banyak perasaan tapi mereka hanya bisa diam bahkan bungkam. Itulah sebabnya mengapa Kresna pada pertunjukan ini dibuat cacat dengan hanya mempunyai satu tangan.

Melihat kekacauan ini dan harapan terakhir yang tidak bisa diharapkan garengpun seakan hancur dan menjerit hingga jeritannya menggaung di seluruh Suralaya. Pada saat itulah Bethara Naradha menurunkan wahyunya berupa ajaran untuk eling (sadar). Eling terhadap sang pencipta, eling terhadap sesame dan eling untuk apa kita diciptakan. Tanpa kesadaran akan hakekatnya, Manusia yang memiliki akal dan hati tak ubahnya seperti kuda yang hanya mengikuti hawa nafsunya. Anjuran untuk ingat dan saling ingat-mengingatkan inilah yang hendak disampaikan kang Cueng dalam pertunjukan monolognya.

Terlepas dari itu semua, Seni yang didalamnya termasuk juga teater dan monolog adalah sesuatu yang bebas dan multi tafsir. Walaupun sang pelakon atau sutradara memiliki nilai tersendiri untuk disampaikan, proses transformasi nilai itu akan dipengaruhi oleh pengalaman dan keilmuan para penonton. Sehingga sah-sah saja jika ada yang men-interpretasi-kan nilai yang bebeda dengan orang lain terhadap sebuah karya seni. Sebab seni bukanlah tulis-menulis surat resmi yang kaku dan saklek. Seni adalah kebebasan, kebebasan untuk berekspresi dan memaknai.

Inicio

memori