0

“GARENG GUGAT”nya KANG CUENG

Saya bersyukur tadi malam bisa melihat sebuah pertunjukan monolog yang di pertunjukan oleh kand Cueng. Pasalnya karena dalam pertunjukan itu kang Cueng memasukkan banyak sekali unsur kesenian tradisional Jawa khususnya Banyumas , dia juga menggunakan beberapa tokoh pewayangan sebagai simbol dalam pertunjukannya. selain itu apa yang dia pertunjukan bagi saya memiliki nilai filosofis yang cukup dalam.

“gareng gugat”menurut saya adalah sebuah refleksi terhadap apa yang terjadi di negri ini dimana kekuasaan dan kerakusan serta ketidak peduliaan kaum religius terhadap apa yang terjadi di negri ini membuat banyak kesengsaraan bagi masyarakat, Akan tetapi mereka (kaum jelata) tidak berani atau tidak bisa untuk menyuaraknya . Hal ini saya tangkap dari salah satu syair lagu yang dinyayikan oleh sinden di awal pertunjukan . “nganggo iket ora nganggo sarung, pengen banget ora wani nembung…..memakai ikat kepala tapi tidak bersarung, sangat inggin tapi tidak berani bilang atau menyuarakan” syair ini bagi saya cukup untuk menggambarkan dilema yang terjadi pada kaum jelata negri ini.

Pertunjukan “gareng gugat” diawali dengan keluarnya seseorang penari yang mengenakan topeng iblis di bagian belakang kepalanya , Kedua tangannya memegang gunungan/kayon yang ukurannya berbeda. Gunungan/ kayon dalam pewayangan mengambarkan alam semesta atau suatu negri. Adanya kaum borjois dan proletar –meminjam konsep Karl Max untuk menggambarkan si kaya dan si miskin – dan ketimpangan sosial yang terjadi di antara keduanya digambarkan dengan kemunculan dua gunungan yang berbeda ukuran tersebut. Perbedaan ukuran gunungan ini menurut saya juga menggambarkan keadaan yagn terjadi antara pemerintah dan rakyat. Gunungan yang besar memiliki dua sisi yang berbeda seperti halnya penari yang juga mamiliki dua sisi muka yang berbeda, dengan dua sisi yang berbeda tersebut kang Cueng hendak mengambarkan kondisi pemerintah saat ini. Pemerintah seperti membela rakyat padahal menyengsarakan, Berwajah malaikat padahal iblis yang sangat jahat.

Gugatnya gareng ini didasari oleh kecintaannya pada negri ini dan juga rakyatnya yang sebagian besar sengsara dan tersingkir karena ulah orang-orang yang berhati bejat. Digambarkan dalam pertunjukan tersebut ketika nala gareng yang berniat untuk menggugat memeluk tokoh bagong, Punakawan yang didalamnya termasuk bagong dalam pewayangan menggambarkan rakyat jelata. Setelah memeluknya tokoh bagong ini dibuang begitu saja, menurut saya hal ini menggambarkan bahwasanya masyarakat miskin benar-benar tersingkir karena ulah oknum-oknum berhati iblis tersebut.

Gugatan gareng yang pertama ditujukan kepada para pemimpin yang menjadi lalim karena jabatan yang dalam pertunjukan ini digambarkan dengan tokoh Prabu Duryudhana. Parbu Duryudhana dalam beberapa suluk pewayangan digambarkan sebagai seorang raja yang berwibawa bagi rakyatnya di kerajaan Astina, Gajahoya. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kelemahan tokoh ini adalah selalu menuruti kemauaan adiknya-adiknya yang banyak cela dan selalu mementingkan nafsu dunia. Pemimpin yang digugat dalam monolog itu juga seperti Prabu Duryudhana. Ketika mereka menduduki jabatanya, Mereka hanya memikirkan dirinya dan keluarganya. sehingga merekapun dengan berbagai cara harus bisa menghadirkan kesenangan dunia di tengah-tengah keluarganya dan melupakan rakyat yang menjadi kewajibanya. Rakyat telah mereka tipu dengan kewibawaan palsu yang mereka tunjukakan ketika pemilu.

Gugatan kedua ditujukan kepada patih sengkuni yang di monolog ini menggambarkan para pamong (aparatur Negara) negri ini. Patih sengkuni dalam pewayangan diwatakkan sebagai seorang patih yang licik, untuk mendapatkan tujuannya (yang kebanyakan adalah titah dari para petinggi kurawa) dia mengunakan segala cara bahkan kekerasan sekalipun. Tokoh ini tak ubahnya seperti para pamong yang digugat gareng. Para pamong ini dalam melaksanakan pembangunan seringkali merusak dan menghilangkan mata pencaharian. Mereka tidak memikirkan apa yang dirasakan rakyat, karena bagi mereka “asal bapak senang” lebih penting dari nasib rakyat.

Setelah menggugat para pamong, Gareng menggugat para taipan negri ini yang dalam pertunjukan ini digambarkan dengan salah satu tokoh kurawa. Kaum borjuis yang selalu bertindak rakus tak ubahnya seperti para kurawa yang dengan selalu rakus untuk memuaskan hasrat keduniawian mereka. Sifat rakus yang ternyata menimbulkan kesengsaraan inilah yang membuat sang nala gareng melakukan penggugatan terhadap mereka.

Diceritakan pula pada pertunjukan monolog itu sang nala gareng menggugat para tokoh agama yang digambarkan dengan tokoh pendeta Durna , seorang pendeta kurawa yang sama liciknya dengan patih sengkuni. Penggugatan gareng ini untuk menuntut peran aktif tokoh-tokoh agama ini yang pada saat ini seakan-akan sirna. Mereka hanya disibukkan dengan pembahasan-pembahasan masalah praktis saja. Tentang korban lumpur lapindo, Kekurangan air, Kelaparan dan para gepeng serta pelacur yang menanti jalan keluar dari kehidupanya yang hina tidak pernah mereka bahas. Kalaupun ada peran aktif yang ada hanya aksi perusakan tempat hiburan yang menjadi satu-satunya penghidupan mereka yang bekerja di sana, Sedangkan mentri dan pejabat-pejabat yang korup tidak pernah mereka rusak tempat tinggalnya.

Bethara Kresna sebagai salah satu tokoh pewayangan yang memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu yang akan terjadi di masa depan juga tak luput dari aksi penggugatan gareng. Bethara Kresna yang dalam pertunjukan ini menggambarkan seorang pemimpin yang memiliki kemampuan ber-visi untuk kemajuan tanah air dan menjadi satu-satunya harapan rakyat ternyata mengecewakan. Ketika gara-gara (kesemrawutan) banyak terjadi di plosok negri ini, sang harapan terakhir ini hanya bisa mengatakan “ saya ikut prihatin dengan yang terjadi pada negri ini” tanpa member langkah yang kongkrit untuk mengatasi masalah, Mereka punya kekuasaan dan menjadi harapan banyak perasaan tapi mereka hanya bisa diam bahkan bungkam. Itulah sebabnya mengapa Kresna pada pertunjukan ini dibuat cacat dengan hanya mempunyai satu tangan.

Melihat kekacauan ini dan harapan terakhir yang tidak bisa diharapkan garengpun seakan hancur dan menjerit hingga jeritannya menggaung di seluruh Suralaya. Pada saat itulah Bethara Naradha menurunkan wahyunya berupa ajaran untuk eling (sadar). Eling terhadap sang pencipta, eling terhadap sesame dan eling untuk apa kita diciptakan. Tanpa kesadaran akan hakekatnya, Manusia yang memiliki akal dan hati tak ubahnya seperti kuda yang hanya mengikuti hawa nafsunya. Anjuran untuk ingat dan saling ingat-mengingatkan inilah yang hendak disampaikan kang Cueng dalam pertunjukan monolognya.

Terlepas dari itu semua, Seni yang didalamnya termasuk juga teater dan monolog adalah sesuatu yang bebas dan multi tafsir. Walaupun sang pelakon atau sutradara memiliki nilai tersendiri untuk disampaikan, proses transformasi nilai itu akan dipengaruhi oleh pengalaman dan keilmuan para penonton. Sehingga sah-sah saja jika ada yang men-interpretasi-kan nilai yang bebeda dengan orang lain terhadap sebuah karya seni. Sebab seni bukanlah tulis-menulis surat resmi yang kaku dan saklek. Seni adalah kebebasan, kebebasan untuk berekspresi dan memaknai.

0 komentar:

Posting Komentar

Siguiente Inicio

memori